09 Desember 2008

Gadis Pilihan Bunda



Aku adalah anak yang terlahir dari perpaduan suku bangsa. Dalam darahku mengalir lautan keberagaman. Tidak ada hanya hitam maupun putih. Ketika sekolah dulu, pelajaran sosial adalah pelajaran yang paling membuatku tertarik. Setiap kata dan kalimat yang mengalun dari bibir Ibu dan Bapak guru, aku resapi bagai harmonisasi musik kelasik. Guruku selalu berkata bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat kaya. Kaya akan aneka hayati serta kaya akan keberagaman kultural. Yah keberagaman budaya. Bunda pertiwi, sosok yang sering diucapkan bapak dan ibu guru, merupakan pemersatu itu semua. Aku selau mendengarkannya.
Senang aku mengatakannya, karena aku bagian dari Bunda Pertiwi. Dua warna mengalir dalam darahku. Ayahku dari tanah jawa, Ibuku Bukit Tinggi. Rasa bangga itu aku simpan dalam jiwa, agar setiap detak jantungku dapat mendengarnya .
“Bunda tercinta, sudah lama anakmu ingin sampaikan berita baik ini. Tak baik rasanya, kabar ini ananda simpan sendiri,” kataku pada suatu ketika.
“Jangan buat Bundamu menunggu, buah hati Bunda,” jawabnya
“Ini tentang Samudraku, aku sudah menemukannya. Pencarianku telah berakhir ibunda terkasih. Seorang putri molek rupawan. Seperti yang Ibunda inginkan, Taat pada agama dan orang tua.” Ucapku lembut.
“Anakku sayang,” jawabnya seraya tersenyum indah,” Bawa ke hadapan Bunda. “Jangan kau katakan kalau ia adalah gadis dari negeri Minang, gadis yang selalu Bunda impikan. Sudah kah kau tahu anakku tercinta, kalau gadis Minang adalah gadis terbaik di belantara ini? Tak kan menyesal jikalau dirimu mendapatkan gadis seperti itu. Mereka pandai memasak, pintar mengurus suami, kau akan menjadi nahkoda yang baik kalau kau meminang gadis Minang,”jelasnya
Aku diam…tak sepatah katapun aku ucapkan. Aku tundukan wajahku, tiba-tiba perasaan enggan menyelimuti kalbuku. Belum sempat aku berkata, ia melanjutkan,” Jangan pula kau pilih gadis dari negeri Padjadjaran, mereka hanya akan menyusahkan kau saja. Tidak bisa kau menyelamatkan kapalmu. Mereka akan menggrogoti kapalmu sampai karam perlahan. Begitu kau karam, mereka akan meninggalkanmu dan berpindah ke kapal lain.”
Aku bilang, “Bunda tersayang, samudra yang akan aku beritakan ialah seorang putri dari negeri Padjadjaran. Ia tidak seperti yang Bunda katakan. Aku sangat mengenalnya. Ah… tidak bunda, demi anakmu tercinta janganlah kau berfikir seperti itu. Tidaklah gadis negeri Minang atau gadis negeri Padjadjaran. Semua anak cucu ayahanda kakek Adam dapat melakukan hal keji tersebut, janganlah…”
“Cukup!!!” kata-kata bunda tiba-tiba meninggi. Suaranya kini tidak lagi lembut, kini menajam,” Hanya bunda yang akan menjadi tempatmu mengadu kelak. Jangan kau bantah perkataan Bunda!. Sadarkah kau akan perbuatanmu kekasihku? Bundamu ini sudah lama mencicipi asam garamnya hidup, lebih lama dari dirimu.”
Bunda pertiwi… dimanakah kau saat ini?, benarkah Bundaku yang mengatakan petuah ini? Sudahkah kau mendengar kata-kata bundaku? Lakukan tugas muliamu. Satukan negeri ini. Sadarkan kehancuran tanah ini dari pemikiran sempit para rasis. Kaum-kaum chauvimist. Dunia ini warna warni ibunda Pertiwi tercinta, katakan itu semua pada ibundaku.
“Bunda, jangan kau jadikan anakmu ini durhaka. Jangan kutuk ananda menjadi batu. Katakan apa yang bunda ingin ananda lakukan,” pintaku
“Tinggalkan dia. Beralihlah pada pilihan bunda.”
“Kalau aku tinggalkan dia, apa bunda yakin aku akan bahagia dengan pilihan bunda?” Tanyaku
“Semoga demikian,”
“Mengapa Bunda begitu yakin, aku menderita kelak?”
“Karena mereka memang seperti itu.”
“Bunda sayangku, tahukah ,kau apa yang akan kelak terjadi, esok??” tanyaku
“Tidak,” bunda menggeleng.
Aku tersenyum, wajahku kembali aku angkat. Senyum kemenangan terukir diwajahku,” Lalu bagaimana Bunda bisa yakin kelak kapalku akan karam??”
Skak mat… Kata-kataku membuatnya hening lam...,lalu..”Buktikan ucapanmu, buah hatiku.” Ujarnya
Duhai Bunda pertiwi, katakan siapa rakyatmu dahulu yang mengobarkan perang dingin ini antara bangsa Padjadjaran dan negeri Minang. Perihal apa gerangan yang menyebabkan hal itu. Tidakkah mereka sadar, bahwa anak cucunya kini yang meneguk hasilnya. Jauh berabad-abad kedepan.
12/8/2008 9:48 PM

Tidak ada komentar: